Cari Blog Ini

Jumat, 18 Februari 2011

TOKOH POLITIK: NURCHOLIS MADJID

Pada awal abad ke-20 di sebagian kalangan intelektual muslim terpelajar timbul kesadaran untuk membawa ummat islam kepada tingkat kemajuan sebagaimana yang pernah dicapainya di abad klasik, dan sekaligus mampu menghadapi tantangan modernisasi. Berbagai penyebab yang membawa kemunduran ummat islam telah dikaji secara seksama dan berbagai solusi untuk mengatasinya juga telah dikemukakan.

Berbagai solusi tersebut terkadang membawa pro dan kontra dikalangan masyarakat islam, terutama dari kalangan islam tradisionalis. Nurcholis Madjid adalah salah seorang tokoh pembaharu yang banyak ditentang oleh kalangan tradisionalis. Gagasannya tentang sekularisasi dalam islam, serta pernyataan tentang “Islam Yes, Partai Islam No” hingga kini banyak diperbincangkan orang. demikian pula kesadarannya untuk menggunakan institusi pendidikan untuk menyosialisasikan gagasan dan pemikirannya itu pula telah ia lakukan. Gagasannya tentang pembaharuan pesantren adalah merupakan bagian dari cita-cita modernisasinya.

Nurcholis Madjid sangatlah fenomenal dikalangan cendekiawan muslim indonesia. Sangat penting untuk dikaji lebih dalam tentang gagasannya yang orisinil. Dengan gagasannya tergugahlah masyarakat muslim indonesia yang sarat dengan dogma budaya. Dan bahkan memungkinkan untuk menelaah lebih lanjut pemikiran yang berkisar politik dari Nurcholis Madjid.

Pemikiran yang progresif dan dapat berguna bagi khalayak orang banyak sangatlah diperlukan. Itu demi semata-mata untuk kemajuan dalam komunitas tersebut. Namun, permasalahan dalam masyarakat sangatlah kompleks sehingga terdapat kelompok tertentu yang menginginkan perubahan. Salah satu tokoh yang ngetop dalam Islam adalah Nurcholis Madjid yang terkenal dengan model pembaharuannya. Namun, dari beberapa pemikiran Cak Nur yang jadi masalah adalah bagaimana pemikiran politik Nurcholis Madjid bila dibenturkan budaya berpolitik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad? Bila Cak Nur menekankan agar umat islam dalam berpolitik secara kultural lalu bagaimana prilaku nabi waktu memimpin kota madinah yang notabene negara kecil yang heterogen ataupun plural tidak jauh berbeda dengan Indonesia.

Riwayat Hidup Nurcholis Madjid

Nurcholis Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H. di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga kalangan pesantren yang taat menjalankan agama. Pendidikannya dimulai dari sekolah rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan Ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar di pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo.

Setamat dari Gontor ia melanjutkan studi pada institut agama islam kini Universitas Negri Islam (UIN) Syaraf Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968. pendidikan selanjutnya ia lakukan di Universitas Cicago, Illinois, Amerika Serikat dan berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Islamic Though (Pemikiran Islam) pada tahun 1984.

Semasa jadi mahasiswa, Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi ketua umum Himpunan mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat pada tahun 60-an. Kemudian menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama pereode 1966-1969 dan 1969-1971. selain itu, ia juga pernah menjadi Presiden pertama Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) tahun 1967-1969, sebagai Wakil Sekretaris Jendral Internasional Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) pada tahun 1969-1971.

Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972 sampai 1976. setelah berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 1985, ia diotugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sejak tahun 1978 ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bersama tugas-tugasnya itu, ia pernah berkesempatan menjadi dosen tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada. Pada tahun 1990 di dampingi oleh istrinya yang mengikuti program Eisenhower Fellowship.

Pemikiran Nurcholis Madjid

Dalam bukunya Jalaluddin Rahmat yang mengutip dari Gusdur (Abdurrahman Wahid) mengatakan bahwa: “Nurcholis Madjid merupakan “Mafia McGill” yang menjadi agen pencerahan”, yang bersifat serba terbuka kepada “hal-hal baru”. Selain itu, ia disebut sebagai pendekar Cicago. Nurcholis Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban islam yang di puncak kejayaannya sekitar sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan islam yang mampu menyerap yang terbaik, dari manapun datangnya. Proses penyerapan itu, menjadikan agama islam menjadikan agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut manusia secara tidak berkeputusan.
Karena itu, Nurcholis Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan diantara semua agama. Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan islam sendiri, sebagai cara hidup bagian cukup besar dari ummat manusia. Inklusivitas islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas islam itu, dalam pandangan Nurcholis Madjid hanya dapat terwujud dalam lembaga politik islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholis: “Islam Yes Partai Politik Islam No”.

Nurcholis Madjid juga terkenal sebagai penulis yang sangat produktif diantara karya-karyanya adalah: a). Khazanah Intelektual Islam, Islam dan Kemordenenan dan Keindonesiaan, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemotrdenan, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevannsi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, masyarakat Relegius, Kaki Langit Peradaban Islam, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Politik Kontemporer, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Islam Doktrin dan Peradaban.

Begitu banyak sekali hasil kontemplasi Cak Nur dalam khazanah keilmuan. Membaca pemikiran Cak nur yang terdapat dalam buku Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Pemikirasn Cak Nur memang sangat relevan dengan keadaan sosial para pelaku politik, terutama para prilaku para elit politik. Dalam bukunya yang lain, yang berjudul “Islam Doktrin dan Peradaban”, Cak Nur terkesan mengenyampingkan Partai Islam. Pemikiran Cak Nur dalam kancah politik perlu dikritisi lagi. Meskipun Cak Nur menyadur prilaku etika politik yang dilakukan oleh nabi dan sahabat, namun itu hanya sebatas nilai-nilainya saja. Sehingga disini pemikiran politik Cak Nur sangatlah lemah jika dikaitkan dengan politik islam dan pranata-pranata sosial islam lainnya dalam tradisi keilmuan islam merupakan bagian dari syari’ah (al-ahkam al-amaliah). Itu juga karena Cak Nur hanya mengambil sebagian saja baik dari waktu maupun segi cakupannya. Piagam madinah yang sering disebut Cak Nur sebagai Nuktah-Nuktah kesepakatan antar golongan untuk mewujudkan politik bersama.
Sementara itu, aspek yang dikemukakan Cak Nur hanya dari segi nilai-nilai dan etikanya saja, padahal yang dominan pada masa Madinah justru legislasi dalam bentuk syari’ah, yang menjadikan sebagian prinsip-prinsip dalam piagam Madinah itu berlaku lagi, seperti persamaan (penuh) diantara kelompok-kelompok masyarakat karena kelompok Yahudi kemudian menjadi dzimmi (non-muslim yang mendapatkan perlindungan), yang hak dan kewajibannya sama dengan muslim.

Cak Nur kecewa dengan partai-partai islam yang dianggapnya strukturalis, lgalistik dan formalistik. Sehingga Cak Nur mendeklarasikan pada perjuangan kulturasi nilai-nilai ke-islaman dalam sosio kultural masyarakat, bukan ke wilayah “partai islam”. Disamping itu, yang perlu dikritisi dari statemen Cak Nur adalah; “Sebagai agama, islam tidak akan kalah…orang islam lebih efektif menjadi oposisi sambil belajar untuk menjadi berkuasa”. Dengan begitu Cak Nur telah mengingkari adanya partai Islam secara struktural.
Di lain pihak dia mendukung adanya Partai Golkar karena kaitannya alumni HMI yang duduk di kursi DPR akan hilang. Padahal bila kita menengok sejarah politik rasul, rasul telah menjalankan politik secara kultural maupun struktural. Sehingga dapat dikatakan bahwa. Kalau memang islam diartikan sebagai nilai kultural semata, akan dikemanakan identitas islam tersebut?. Padahal agama Islam sebagai agama yang sempurna, yang mengatur setiap aspek kehidupan, semenjak awal mula, para ulama dan para ahli hukum Islam (Faqih) telah merinci agama islam sebagai berikut:
- Aqidah: keimanan atau keyakinan
- Syari’at: ibadah
- Akhlaq: prilaku manusia terhadap tuhan maupun sesamanya.
Dapat dikatakan pada zaman nabi adalah “Islam Yes Politik Islam Yes”. Dari pemikiran Nurcholis Madjid tentang politik diatas, sangat kurang relevan dengan konsep politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Itu dapat dilihat dari latar belakang sejarah, yaitu sebagai negara yang heterogen, negara Madinah sama dengan Indonesia. Meskipun diberlakukan sistem politik secara struktural dan kultural kenyataannya banyak golongan yang menerima. Sehingga perjuangan ummat islam dalam menanamkan nilai-nilai keislaman adalah dengan partai islam. Padahal sudah jelas-jelas secara syari’at ummat islam disuruh membentuk pemerintahan secara kultural. Yaitu kata Sulthon dalam QS. An-Nisa’, Al-Mulk QS. Al-Baqarah.

Disamping itu Cak Nur kelihatan tidak berani mengatakan “partai islam yes” karena waktu itu takut dengan kekuasaan Soeharto. Yang pada tahun 70-an cengkramannya sangat terasa. Apalagi statemennya yang mengatakan bahwa kekalahan Partai Islam adalah karena simbol islam ini sangat tidak beralasan seharusnya yang dikritik adalah ummat islam yang berpolitik bukan masalah simbol.

Dalam tradisi ke-ilmu-an islam, pemikiran politik, itu tidak terlepas dari siyasah syari’ah (pengaturan negara) dan ilmu Siyasah syari’ah (ilmu tentang pengaturan agama) yang juga disebut sebagai fiqh siyasah. Artinya tidak mungkin membahas pemikiran politik islam secara komprehensif tanpa menyinggung aspek syari’ah.
Pemikiran Cak Nur juga kehilangan greget “ideologisnya”, karena sejalan dengan santrinisasi dalam masyarakat indonesia, mereka pun berusaha melaksanakan ajaran-ajaran islam secara komprehensif. Hal ini, tentu membutuhkan adanya kebijakan negara atau peraturan perundang-undangan yang mendukung. Dalam kondisi demikian ini, aspirasi umat baik dari segi subatansi atau cara untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Tidak hanya bersifat kultural, melainkan juga bersifat struktural.

Munculnya kembali partai-partai islam pada era reformasi baik yang dengan tegas memakai asaas islam maupun tidak, menunjukkan ke4cendrungan aspirasui ini. Orientasi ini, memang tidak pernah pudar dalam masyarakat islam di manapun berada, karena secara doktriner islam memang tidak bisa dipisahkan dengan persoalan kenegaraan. Dalam bukunya Din Syamsudin,” agama dan negara memiliki hubungan timbal balik yang saling membutuhkan, keduanya berbeda, tidak menyatu tapi saling memerlukan”. Maka dari itu Islam dilihat sebagai satu sistem kehidupan yang lengkap, meliputi sistem spiritual, sistem moral, sistem politik, sistem ekonomi dan sistem ekonomi.
 http://hminews.com/opini/nurcholis-majid-dan-prilaku-politik-islam-indonesia/

TOKOH POLITIK: AMIEN RAIS

 

Prof. Dr. H. Amien Rais (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944; umur 65 tahun) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999 – 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.
Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setelah partai-partai politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien Rais ikut mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.
Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai “King Maker”. Julukan itu merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999.

Lahir di Solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga aktivis Muhammadiyah yang fanatik. Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa belajar Amien banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1968 dan lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke berbagai negara dan baru kembali tahun 1984 dengan menggenggam gelar master (1974) dari Universitas Notre Dame, Indiana, dan gelar doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.

Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT, dan beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru, Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap dijuluki Lokomotif Reformasi.

Akhirnya setelah terlibat langsung dalam proses reformasi, Amien membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 dengan platform nasionalis terbuka. Ketika hasil pemilu 1999 tak memuaskan bagi PAN, Amien masih mampu bermain cantik dengan berhasil menjadi ketua MPR.
Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan politik Indonesia saat ini. Tahun 1999, Amien urung maju dalam pemilihan presiden. Tahun 2004 ini, ia maju sebagai calon presiden dan meraih hampir 15% suara nasional.

Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT. Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding Amien Rais dan LSM terlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian dibantah kembali oleh Syamsir Siregar.

Pada Mei 2007 ia mengaku bahwa semasa kampanye pemilihan umum presiden pada tahun 2004 ia menerima dana nonbujeter Departemen Perikanan dan Kelautan dari Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri sebesar Rp200 juta sekaligus menuduh bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya turut menerima dana dari departemen tersebut, termasuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang kemudian terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM M. AMIEN RAIS

Politik dan agama sering dipahami secara terpisah di dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga seolah tidak ada keterkaitan fungsional dan organik antara politik dan agama serta politik dan dakwah. Bahkan ada kesan dalam masyarakat seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, penipuan, dan pelbagai konotasi buruk lainnya. Bagi M Amien Rais persepsi politik yang demikian tentu cukup berbahaya. Ditinjau dari kaca mata agama dan dakwah, pandangan politik seperti ini juga sangat merugikan (Amien, 1995 : 81-85).
Menurut Amien Rais, seorang politisi haruslah bersandar pada moralitas dan etika yang bersumber pada ajaran tauhid. Bila moralitas dan etika tauhid ini dilepaskan dari politik, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara pada kesengsaraan orang banyak. Sebagaimana diungkapkan Amien:
…. Politik merupakan salah satu kegiatan penting, mengingat bahwa suatu masyarakat hanya bisa hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal dalam sebuah negara dengan segala perangkat kekuasaannya. Sedemkian penting peranan politik dalam masyarakat modern, sehingga banyak orang berpendapat bahwa politik adalah panglima. Artinya, politik sangat menentukan corak sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. (Amien, 1995 : 27)
Dengan demikian, maka politik harus mengindahkan nilai-nilai agama dan fungsional terhadap tujuan dakwah. Politik yang fungsional terhadap tujuan dakwah adalah politik yang sepenuhnya mengindahkan nilai-nilai Islam. Dalam hubungan ini, Amien Rais menegaskan bahwa kehidupan politik yang Islami tidak memberikan tempat bagi sekulerisasi. Mengutip Harvey Cox, Amien Rais menggambarkan yang dimaksud dengan sekulerisasi dan komponen-komponennya adalah, disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam dari nilai-nilai agama, agar masyarakat dapat melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral atas otoritas dan kekuasaan, dan hal ini merupakan syarat untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan politik dalam proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai agama yang bersifat absolut.(Ibid : 28-29)
Politik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power). Sebagaimana dikatakan V.O. Key, Jr., politik terutama terdiri atas hubungan antara superordinasi dan subordinasi, antara dominasi dan submisi, antara yang memerintah dan yang diperintah. George Catlin memberi takrif politik sebagai kegiatan manusia yang berkenaan dengan tindakan manusia dalam mengontrol masyarakat (the act of human social control). Sedangkan Harold Lasswell memberikan pengertian politik menyangkut who gets what, when and who. What di sini terutama berupa kekuasaan atau otoritas politik. Sedangkan siapa, kapan, dan bagaimana, adalah masalah-masalah yang menentukan bentuk pengelolaan politik suatu masyarakat (Ibid : 30).
Menurut Amien Rais, politik kepartaian, proses rekrutmen pejabat atau pegawai, proses agregasi dan artikulasi kepentingan, proses pemecahan konflik kepentiangan antargolongan dalam masyarakat, proses pembuatan keputusan politik domestik maupun luar negeri dan lain sebagainya, adalah contoh-contoh kegiatan politik yang tidak dapat dilepaskan dari fondasi moral dan etik yang dianut.” (Ibid). Bagi Amein Rais, seorang Marxis, tindakan politik adalah baik bila tindakan itu menguntungkan kaum proletar, memperlemah posisi golongan yang mereka katakan borjuis, dan menuju revolusi sosial ke arah masyarakat tanpa kelas. Begitu halnya dengan seorang sekularis-pragmatis, sutau tindakan politik itu baik jika dapat memberi keuntungan praktis dan manfaat material, walaupun hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sesaat. Sedangkan bagi seorang muslim, suatu tindakan politik itu baik kalau ia berguna bagi seluruh rakyat, sesuai dengan ajaran rahmatan lil’alamin (Ibid).
Dengan melihat berbagai kenyataan politik di atas, menurut Amien Rais, dalam kaca mata Islam ada dua jenis politik (Amien, 1995 : 74). Yaitu politik yang luhur, adiluhung, dan berdimensi moral serta etis (high politics) dan politik kualitas rendah atau politik yang terlalu praktis dan seringkali cenderung nista (low politics). Dalam konteks organisasi, Amien mencontohkan: “Bila sebuah organisasi menunjukkan sikap yang tegas terhadap korupsi, mengajak masyarakat luas untuk memerangi ketidakadilan, mengimbau pemerintah untuk terus menggelindingkan proses demokrasi dan keterbukaan, maka organisasi tersebut pada hakikatnya sedang memainkan high politics. Sebaliknya, bila sebuah organisasi melakukan gerakan manuver politik untuk memperebutkan kursi DPR, minta bagian di lembaga eksekutif, membuat kelompok penekan, mambangun di lobi, serta berkasak-kusuk untuk mempertahankan atau memperluas vested interest, maka organisasi tersebut sedang melakukan low politics.”
Dalam sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yang diadakan pada tahun 1982 menyimpulkan: (Mumtaz, 1993) Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yang ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu tempat dan tempat yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubah-ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip umum dalam bernegara secara Islami. Kedua, tercapai kesepakatan bahwa demokrasi merupakan jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka sepakat untuk menolak asumsi filosofis “demokrasi Barat”.
Kedua kesimpulan ini senada dengan pendapat Amien Rais, (Amien, 1992 : 44) bahwa “keabadian wahyu Allah justru terletak pada tiadanya perintah dalam al-Quran dan Sunnah agar mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah). Jika umpamanya ada perintah tegas untuk mendirikan negara Islam, maka al-Quran dan Sunnah juga akan memberikan tuntunan terinci  tentang struktur institusi-institusi negara yang dimaksudkan. Seperti sistem perwakilan rakyat, hubungan antar badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sistem pemilihan umum (apakah sistem distrik atau sistem proporsional), dan detil-detil lain yang benar-benar terinci. Bila demikian halnya, maka negara Islam itu tidak akan tahan zaman. Mungkin negara itu cocok dan sangat tepat untuk masa 14 abad yang silam, tetapi perlahan-lahan ia akan menjadi usang (out of date), dan tidak dapat lagi memiliki kemampuan menanggulangi masalah-masalah modern yang timbul sejalan dengan dinamika masyarakat manusia, dan pasti tidak akan serasi dengan dinamika sejarah yang terus mengalami perubahan dan pertumbuhan sesuai dengan sunnatullah.”
Namun, menurut Amien, dengan demikian tidak berarti lantas kaum muslimin diperkenankan membangun negara sesuai dengan kemauan manusiawinya sendiri, dan terlepas dari ajaran-ajaran pokok (fundamentals) agama Islam. Bagi Amien, membangun suatu negara yang terlepas dari fundamentals ajaran Islam berarti membangun negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual dan menjurus pada kehidupan yang serba-material, yang di dalamnya petunjuk wahyu hanya disebut-sebut secara berkala dalam kesempatan-kesempatan tertentu.
Referensi: Anjar Nugroho, S.Ag & Darodjat, S.Ag., M.Ag, Pemikiran Nurcholis Madjid dan Amien Rais tentang Etika Politik & Negara Islam

TOKOH POLITIK: MOHAMAD NATSIR

Pada pemikiran Mohamad Natsir (selanjutnya disebut Natsir) tentang agama dalam hal ini agama Islam sebagai idiologi negara dan beberapa aspek pemikirannya yang mengundang kontroversi. Pemikiran politik yang dimaksud disini adalah upaya pencarian landasan intelektual bagi konsep negara atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, baik lahirian. Pemikiran politik Natsir dalam hal ini, merupakan ijtihad politik Natsir dalam rangka menemukan nilai-nilai islam dlam kontek sistem bernegara.
Biografi  Singkat Mohamad Natsir
Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Ia ibarat mata air yang takpernah kering meskipun kemarau datang berkepanjangan. Sejak ia muda, bersekolah di bandung danterlibat dalam berbagai polemik intelektual dibidang ke agamaan dan politik, ia selalu menjadi fokus perhatian orang.
Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar biasatentang Islam. Ia juga dengan sangat berani mengemukakan gagasannya yang sangat bertentangan dengan pemikiran lain salahsatunya adalah Presidan Soeharto.
Natsir lahir di minagkabau, Alahan Panjang, Sumatra Barat 17 juli 1908, dan wafat di Jakarta 5 Februari 1993. Ayangnya, Sutan Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan disan, ibunya, Khadijah adalah ibu rumahtangga yang bijaksana dan kakeknya seorang ulama.
Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare Schol (AMS) Bnadung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem dan Sutan Syahrir.
Ia diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan Negarawan. Ia tidak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bventuk tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah mengetahui Jong Islamiten Bond  (JIB)  Bnadung,  1928-1932, Natsir pernah pula aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PARSIS. Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam (pendis) di Bnadung, sebuah bentuk pendidikan Islam Modern yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun, sejak 1932.
Walaupun Natsir selalu menghendaki agama sebagai idiologi negara, akan tetapi ia berusaha menampilkan semangat ke Islamannya dengan wajah terbuka dan luwes. Ia adalah seorang politisi profesional diantara banyak pemikir.
Kiprah Natsir sebagai tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini takpernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal usul dan fikisnya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan tempramen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman biacaranya.
Namun dibalik tempramennya yang lemah lembut dan mudah tersenyum itu, sosomk pribadi Natsir ialah ibarat batu karang yang kokoh ia termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan dengan orang-orang lain, ia terkesan terbuka dan malahan cenderung kompromistik, sejauh kemungkinan kompromi-kompromi itu memang dapat di capai tampa mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakininya
Selintas Pemikiran Politik Mohamad Natsir
Agama, menurut Natsir harus di jadikan pondasi dalam pendidikansuatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan tuhan yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah suatu kebudayaan peradaban yang lengkap dan sempurna.
Yang dituju oelh islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang hingga merasap dalam kehidupoan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintahan dan perundang-undanagan. Tapi adalah ajaran islam juga, bahwa dalam soal-soal keduniawian, orangdiberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam musyawarah bersama, seperti dalam firman Allah SWT. “dan hendaklahurusan mereka diputuskan dengan musyawarah”.
Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyrakat Islam, dengan dasar pemikiran, bahwa ajaran Islam sangat dinamis untuk diterapkan pada setiap waktu dan jaman. Dari sudut ini, ia jauh melampou pemikiran maududi atupun Ibu khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan Khalifah yang empat, sebagai satu-satunya alternatif sistem pemerintahan negara Islam.
Kedinamisan pemikiran-pemikirannya itu dituangkan dalam beberapa periode. Setidaknya ada tiga periode pemikiran yang menjadi pokok utama pemikiran Natsir. Yaitu periode 1930-1940, periode pasca kemerdekaan, dam periode konstituante.
Berbicara tentang negara, Natsir berpendapat bahwa negara adalah suatu “institution” yang mempunyai Hak, tugas dan tujuan yang husus. Institution adalah suatu badan, organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkap oleh ala-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum.
Negara harus memiliki akar yanglangsung tertanam dalam masyarakat. Karena itu, dasarpun harus sesuatu paham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dappat di mengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan maupun kolektif.
Maka didalam menyusun suatu UUD bagi negara, danuntuk mencapai hasil yangmemuaskan perlulah bertolak dari pokok piiran yang pasti, yakni UUD bagi negara Indonesia harusmenempatkan negara dalam hubunganyang se erat-eratnya dedngan masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD negara itu haruslah berurat dan berakar dalam khalbu, yankni berurat berakal dalam pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta palsapah hidup dari rakyat dalam negeri ini. Dasar negara yangtidak memenuhu syarat yang ketiga itu, tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk diatas sendi-sendi yang pokok.
Natsir di Mata Para Ahli
Menurut yusril Ihza Mahendara agama yang diterjemahkan Natsir cenderung penafsiran doktrin politik islam secara elastis dan fleksibel, karena doktrin memberikan pemahaman yang bersifat umum dan tidak secara terperinci maka Ijtihad harus digalakkan. Setiap zaman berbeda maka ijtihad ulama dahulu dapat diperbaharui sesuai tuntutan jaman, Natsir menyimpulkan bahwa Islam merupakan aliran pemikiran Theistic Democracy  yaitu demokrasi yang berlandaskan ketuhanan dimana keputusan mayoritas rakyat harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan.
Taufik Abdullah berpendapat bahwa sosok Natsir seorang idealis dalam arti bukan pemimpi, akan tetapi idealis dalam pengertian pilosopis, yakin dalam kesadaran iman dan tauhid. Karena itu ia mengatakan peneguhan iman, aqidah dan lainnya, penguatan inilah yang menjadi dasar masyarakat dalam kehidupan bernegara.
Menurut penggiat Masyumi Zainal Abidin Ahmad,  Natsir memandang keterlibatannya secara langsung dalam kekuasaan negara sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Melalui cara demikian hukum-hukum Allah tidak hanya keluar dari mulut para alim ulama di mimbar mesjid, akan tetapi juga keluar dari pegawai pemerintahan dalam bentuk undang-undang.
Tarmizi Taher juga menyatakan bahwa Natsir merupakan sedikit di antara manusia indonesia yang multi dimensional dan begitu kompleks. Natsir adalah muslim yang mampu secara intelektual memiliki warisan pemikiran Islam, dia mampu mengamalkan nilai-nilai ke islamannya dan memadukan dengan wacana pemikiran timur an barat. Meskipun secara politis Natsir kalah dalam memperjuangkan Islam sebagai idiologi negara secara konstitusional, ia menerimanya dengan lapang dada dan sebaliknya dengan ikhlas menerima pancasila sebagai ideologi. Disini Natsir nampaknya sampai kesimpulan, tidak ada pertentangan antara islam dengan pancasila, sila-sila yang ada didalamnya selaras. Karena itu tidakperlu di pertentangkan lagi, kegigihan Natsir membela dan menjelaskan pancasila kepada masyarakat internasional di setiap kunjungan manca negaranya merupakan bukti nyatanya.

Sanksi Meninggalkan Sholat

Rasulullah SAW. bersabda, "Barangsiapa menjaga shalat, niscaya di muliakan oleh Allah dengan lima kemuliaan" :
1. Allah menghilangkan kesempitan hidupnya
2. Allah hilangkan siksa kubur darinya
3. Allah akan memberikan buku catatan amalnya dengan tangan kanannya
4. Dia akan melewati jembatan (Shirat) bagaikan kilat
5. Akan masuk syurga tanpa hisab

Dan barangsiapa yang menyepelekan shalat, niscaya Allah akan mengazabnya dengan lima belas siksaan ; enam siksa di dunia, tiga siksaan ketika mati, tiga siksaan ketika masuk liang kubur dan tiga siksaan ketika bertemu dengan Tuhannya (akhirat).

Adapun siksa di dunia adalah :
1. Dicabut keberkahan umurnya
2. Dihapus tanda orang saleh dari wajahnya
3. Setiap amal yang dikerjakan, tidak diberi pahala oleh Allah
4. Tidak diterima do'anya
5. Tidak termasuk bagian dari do'anya orang-orang saleh
6. Keluar ruhnya (mati) tanpa membawa iman

Adapun siksa ketika akan mati :
1. Mati dalam keadaan hina
2. Mati dalam keadaan lapar
3. Mati dalam keadaan haus, yang seandainya diberikan semua air laut tidak akan menghilangkan rasa hausnya

Adapun siksa kubur :
1. Allah menyempitkan liang kuburnya sehingga bersilang tulang rusuknya
2. Tubuhnya dipanggang di atas bara api siang dan malam
3. Dalam kuburnya terdapat ular yang bernama Suja'ul Aqro' yang akan menerkamnya karena menyia-nyiakan shalat. Ular itu akan menyiksanya, yang lamanya sesuai dengan waktu shalat

Adapun siksa yang menimpanya waktu bertemu dengan Tuhan:
1. Apabila langit telah terbuka, maka malaikat datang kepadanya dengan membawa rantai. Panjang rantai tsb. tujuh hasta. Rantai itu digantungkan ke leher orang tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya dan keluar dari duburnya. Lalu malaikat mengumumkan : 'Ini adalah balasan orang yang menyepelekan perintah Allah'. Ibnu Abbas r.a berkata, 'seandainya lingkaran rantai itu jatuh ke bumi pasti dapat membakar bumi'.
2. Allah tidak memandangnya dengan pandangan kasih sayang-Nya Allah tidak mensucikannya dan baginya siksa yang pedih.
3. Menjadi hitam pada hari kiamat wajah orang yang meninggalkan shalat, dan sesungguhnya dalam neraka Jahannam terdapat jurang yang disebut "Lam-lam". Di dalamnya terdapat banyak ular, setiap ular itu sebesar leher unta, panjangnya sepanjang perjalanan sebulan. Ular itu menyengat orang yang meninggalkan shalat sampai mendidih bisanya dalam tubuh orang itu selama tujuh puluh tahun kemudian membusuk dagingnya.