Cari Blog Ini

Jumat, 18 Februari 2011

TOKOH POLITIK: AMIEN RAIS

 

Prof. Dr. H. Amien Rais (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944; umur 65 tahun) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999 – 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.
Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setelah partai-partai politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien Rais ikut mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.
Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai “King Maker”. Julukan itu merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999.

Lahir di Solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga aktivis Muhammadiyah yang fanatik. Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa belajar Amien banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1968 dan lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke berbagai negara dan baru kembali tahun 1984 dengan menggenggam gelar master (1974) dari Universitas Notre Dame, Indiana, dan gelar doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.

Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT, dan beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru, Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap dijuluki Lokomotif Reformasi.

Akhirnya setelah terlibat langsung dalam proses reformasi, Amien membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 dengan platform nasionalis terbuka. Ketika hasil pemilu 1999 tak memuaskan bagi PAN, Amien masih mampu bermain cantik dengan berhasil menjadi ketua MPR.
Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan politik Indonesia saat ini. Tahun 1999, Amien urung maju dalam pemilihan presiden. Tahun 2004 ini, ia maju sebagai calon presiden dan meraih hampir 15% suara nasional.

Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT. Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding Amien Rais dan LSM terlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian dibantah kembali oleh Syamsir Siregar.

Pada Mei 2007 ia mengaku bahwa semasa kampanye pemilihan umum presiden pada tahun 2004 ia menerima dana nonbujeter Departemen Perikanan dan Kelautan dari Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri sebesar Rp200 juta sekaligus menuduh bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya turut menerima dana dari departemen tersebut, termasuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang kemudian terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM M. AMIEN RAIS

Politik dan agama sering dipahami secara terpisah di dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga seolah tidak ada keterkaitan fungsional dan organik antara politik dan agama serta politik dan dakwah. Bahkan ada kesan dalam masyarakat seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, penipuan, dan pelbagai konotasi buruk lainnya. Bagi M Amien Rais persepsi politik yang demikian tentu cukup berbahaya. Ditinjau dari kaca mata agama dan dakwah, pandangan politik seperti ini juga sangat merugikan (Amien, 1995 : 81-85).
Menurut Amien Rais, seorang politisi haruslah bersandar pada moralitas dan etika yang bersumber pada ajaran tauhid. Bila moralitas dan etika tauhid ini dilepaskan dari politik, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara pada kesengsaraan orang banyak. Sebagaimana diungkapkan Amien:
…. Politik merupakan salah satu kegiatan penting, mengingat bahwa suatu masyarakat hanya bisa hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal dalam sebuah negara dengan segala perangkat kekuasaannya. Sedemkian penting peranan politik dalam masyarakat modern, sehingga banyak orang berpendapat bahwa politik adalah panglima. Artinya, politik sangat menentukan corak sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. (Amien, 1995 : 27)
Dengan demikian, maka politik harus mengindahkan nilai-nilai agama dan fungsional terhadap tujuan dakwah. Politik yang fungsional terhadap tujuan dakwah adalah politik yang sepenuhnya mengindahkan nilai-nilai Islam. Dalam hubungan ini, Amien Rais menegaskan bahwa kehidupan politik yang Islami tidak memberikan tempat bagi sekulerisasi. Mengutip Harvey Cox, Amien Rais menggambarkan yang dimaksud dengan sekulerisasi dan komponen-komponennya adalah, disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam dari nilai-nilai agama, agar masyarakat dapat melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral atas otoritas dan kekuasaan, dan hal ini merupakan syarat untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan politik dalam proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai agama yang bersifat absolut.(Ibid : 28-29)
Politik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power). Sebagaimana dikatakan V.O. Key, Jr., politik terutama terdiri atas hubungan antara superordinasi dan subordinasi, antara dominasi dan submisi, antara yang memerintah dan yang diperintah. George Catlin memberi takrif politik sebagai kegiatan manusia yang berkenaan dengan tindakan manusia dalam mengontrol masyarakat (the act of human social control). Sedangkan Harold Lasswell memberikan pengertian politik menyangkut who gets what, when and who. What di sini terutama berupa kekuasaan atau otoritas politik. Sedangkan siapa, kapan, dan bagaimana, adalah masalah-masalah yang menentukan bentuk pengelolaan politik suatu masyarakat (Ibid : 30).
Menurut Amien Rais, politik kepartaian, proses rekrutmen pejabat atau pegawai, proses agregasi dan artikulasi kepentingan, proses pemecahan konflik kepentiangan antargolongan dalam masyarakat, proses pembuatan keputusan politik domestik maupun luar negeri dan lain sebagainya, adalah contoh-contoh kegiatan politik yang tidak dapat dilepaskan dari fondasi moral dan etik yang dianut.” (Ibid). Bagi Amein Rais, seorang Marxis, tindakan politik adalah baik bila tindakan itu menguntungkan kaum proletar, memperlemah posisi golongan yang mereka katakan borjuis, dan menuju revolusi sosial ke arah masyarakat tanpa kelas. Begitu halnya dengan seorang sekularis-pragmatis, sutau tindakan politik itu baik jika dapat memberi keuntungan praktis dan manfaat material, walaupun hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sesaat. Sedangkan bagi seorang muslim, suatu tindakan politik itu baik kalau ia berguna bagi seluruh rakyat, sesuai dengan ajaran rahmatan lil’alamin (Ibid).
Dengan melihat berbagai kenyataan politik di atas, menurut Amien Rais, dalam kaca mata Islam ada dua jenis politik (Amien, 1995 : 74). Yaitu politik yang luhur, adiluhung, dan berdimensi moral serta etis (high politics) dan politik kualitas rendah atau politik yang terlalu praktis dan seringkali cenderung nista (low politics). Dalam konteks organisasi, Amien mencontohkan: “Bila sebuah organisasi menunjukkan sikap yang tegas terhadap korupsi, mengajak masyarakat luas untuk memerangi ketidakadilan, mengimbau pemerintah untuk terus menggelindingkan proses demokrasi dan keterbukaan, maka organisasi tersebut pada hakikatnya sedang memainkan high politics. Sebaliknya, bila sebuah organisasi melakukan gerakan manuver politik untuk memperebutkan kursi DPR, minta bagian di lembaga eksekutif, membuat kelompok penekan, mambangun di lobi, serta berkasak-kusuk untuk mempertahankan atau memperluas vested interest, maka organisasi tersebut sedang melakukan low politics.”
Dalam sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yang diadakan pada tahun 1982 menyimpulkan: (Mumtaz, 1993) Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yang ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu tempat dan tempat yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubah-ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip umum dalam bernegara secara Islami. Kedua, tercapai kesepakatan bahwa demokrasi merupakan jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka sepakat untuk menolak asumsi filosofis “demokrasi Barat”.
Kedua kesimpulan ini senada dengan pendapat Amien Rais, (Amien, 1992 : 44) bahwa “keabadian wahyu Allah justru terletak pada tiadanya perintah dalam al-Quran dan Sunnah agar mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah). Jika umpamanya ada perintah tegas untuk mendirikan negara Islam, maka al-Quran dan Sunnah juga akan memberikan tuntunan terinci  tentang struktur institusi-institusi negara yang dimaksudkan. Seperti sistem perwakilan rakyat, hubungan antar badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sistem pemilihan umum (apakah sistem distrik atau sistem proporsional), dan detil-detil lain yang benar-benar terinci. Bila demikian halnya, maka negara Islam itu tidak akan tahan zaman. Mungkin negara itu cocok dan sangat tepat untuk masa 14 abad yang silam, tetapi perlahan-lahan ia akan menjadi usang (out of date), dan tidak dapat lagi memiliki kemampuan menanggulangi masalah-masalah modern yang timbul sejalan dengan dinamika masyarakat manusia, dan pasti tidak akan serasi dengan dinamika sejarah yang terus mengalami perubahan dan pertumbuhan sesuai dengan sunnatullah.”
Namun, menurut Amien, dengan demikian tidak berarti lantas kaum muslimin diperkenankan membangun negara sesuai dengan kemauan manusiawinya sendiri, dan terlepas dari ajaran-ajaran pokok (fundamentals) agama Islam. Bagi Amien, membangun suatu negara yang terlepas dari fundamentals ajaran Islam berarti membangun negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual dan menjurus pada kehidupan yang serba-material, yang di dalamnya petunjuk wahyu hanya disebut-sebut secara berkala dalam kesempatan-kesempatan tertentu.
Referensi: Anjar Nugroho, S.Ag & Darodjat, S.Ag., M.Ag, Pemikiran Nurcholis Madjid dan Amien Rais tentang Etika Politik & Negara Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar